SDR: Kewenangan Penyidikan Perlu diperhatikan dalam Pembahasan RUU KUHAP

Jak-One.com – Masa pelaksanaan KUHP pada Januari 2026, terkesan sangat pendek, mengingat kurang dari 6 bulan saja waktu yang tesedia. Hal ini, menjadi salah satu perhatian Studi Demokrasi Rakyat (SDR). Direktur Eksekutif SDR, Hari Purwanto. Ia berharap pembahasan yang tengah dilakukan dapat dipercepat mengingat tingkat urgensi yang ada. Dalam pernyataan sikap SDR yang disampaikan di Jakarta, Rabu (3/9/2025).

Hari mengatakan KUHAP yang berlaku sekarang yakni UU No. 8 Tahun 1981 sudah berusia lebih dari 40 tahun. Dalam rentang masa tersebut, tidak sedikit terjadi perkembangan hukum, teknologi, serta kebutuhan perlindungan hak asasi manusia. Perkembangan inilah yang tidak bisa diantisipasi oleh KUHAP sekarang. Pembaruan KUHAP memang mendesak agar sistem peradilan pidana lebih adaptif, akuntabel, dan sejalan dengan standar internasional.

“Sebagai sebuah wadah masyarakat sipil yang peduli dengan pendidikan demokrasi, SDR sangat mengapresiasi pembahasan terhadap revisi KUHAP yang telah berusia lebih dari 40 tahun. Namun, kami mengingatkan, jangan sampai waktu yang pendek dalam pembahasan menjadi celah intervensi dan infiltrasi dari kaki tangan oligarkhi untuk menyelundupkan kepentingannya di RUU ini”, ujar Hari.

Dalam rentang masa pembahasan, SDR telah melakukan sejumlah upaya agar pembahasan RUU ini on the track dan tidak mengkhianati kepentingan rakyat. SDR telah melakukan kegiatan monitoring terhadap perkembangan pembahasan RUU ini, termasuk menyampaikan sejumlah usulan tentang pelaksanaan hukum acara pidana yang layak dan pantas sesuai konstitusi dan tidak melanggar HAM.

Selain itu, SDR juga melakukan advokasi terhadap proses ini dengan melakukan sosialisasi dan pendidikan terhadap sejumlah elemen masyarakat. Hal ini dilakukan agar masyarakat sedari dini mengetahui hak-haknya dalam hukum pidana. Serta paling penting adalah menjadi jembatan antara pembahasan RUU yang dilakukan di Parlemen dengan berita-berita yang beredar di masyarakat baik melalui media massa maupun media sosial.

“Salah satu tema penting untuk diperhatikan adalah tentang kewenangan penyidikan. Pasal ini berpotensi menimbulkan friksi antar lembaga penegak hukum. Peran penyidik utama yang disematkan kepada Polri, berpotensi menimbulkan kesenjangan dengan aparat penegak hukum lain.

Sebagai contoh misalnya untuk perkara korupsi, saat ini selain Polisi, Kejaksaan dan KPK pun memiliki kewenangan melakukan penyidikan terhadap perkara korupsi,” ujar Hari.

Mantan aktivis 98 ini juga menambahkan, dalam catatan statistik, bahkan prestasi Kejaksaan dan KPK jauh melampaui prestasi kepolisian dalam melakukan penyidikan pidana korupsi, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Jika melihat perkara yang tengah berjalan proses penyidikannya, justru dari Polri sangat sepi pemberitaan.

Berbeda dengan KPK dan Kejaksaan Agung yang seolah berbagi peran menangani kasus-kasus korupsi yang high profile. Di Kejaksaan Agung, penyidik pada Jampidsus tengah menyidik sejumlah kasus dengan total kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah. Angka yang belum pernah dicapai di masa lalu.

Sementara KPK, tercatat tengah memeriksa sejumlah perkara dengan tersangka sejumlah pejabat, politisi dan pengusaha nasional. Maka, sangat terbuka ruang intervensi oligarki yang terwakili oleh para koruptor yang tengah disidik oleh kedua lembaga itu, untuk mendorong penghapusan kewenangan penyidikan korupsi yang dimiliki Kejaksaan Agung dan KPK. Meskipun, secara teknis, penyidikan yang terpusat di Polri akan menjadi kepastian dan ketertiban hukum.

“Solusinya, boleh saja kewenangan penyidikan dilakukan oleh Polri namun, kewenangan pra penuntutan yang dimiliki jaksa pun diperkuat. Sehingga bisa melakukan kontrol yang lebih rigid terhadap proses penyidikan. Selain itu, perlu dibahas mekanisme transisi terhadap penyidikan yang tengah dilakukan oleh Kejaksaan dan KPK, sehingga tidak serta merta gugur jika kewenangan ini dicabut”, usul Hari.

Menilik dari rangkaian hal tersebut, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) menyatakan sikap terhadap pembahasan RUU-KUHAP sebagai berikut:
1.Mendukung pembahasan RUU-KUHAP dengan mekanisme yang sesuai konstitusi dan pelibatan masyarakat sipil yang lebih signifikan;
2.Mengingatkan anggota DPR agar tidak menjadikan waktu yang pendek ini sebagai alasan menyusun KUHAP yang asal-asalan dan abal-abal;
3.Mengingatkan kepada DPR dan Presiden tentang adanya indikasi intervensi dan infiltrasi dari kaki tangan oligarki dan koruptor yang akan menggunakan ruang pembahasan RUU-KUHAP ini sebagai medium memecahbelah Aparat Penegak Hukum (APH);
4.Mengingatkan kepada kaki tangan oligarki dan koruptor untuk tidak coba-coba melakukan intervensi dan infiltrasi ke dalam pembahasan RUU KUHAP yang dapat berakibat rusaknya tatanan hukum nasional; 5.Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk pasang mata dan telinga secara aktif mengawasi proses pembahasan RUU KUHAP agar tidak disusupi pasal-pasal yang menguntungkan oligarki namun menindas rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *